Entri Populer

Rabu, 02 Februari 2011

manhaj salaf

LEBIH DEKAT MENGENAL MANHAJ SALAF

Disusun oleh
Abu Mushlih Al Jukjakarti

Untaian Faedah untuk Mukmin dan Mukminah

Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Nabi
Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dan
membangkitkan para sahabat sebagai pendamping dan
pembela dakwah beliau. Shalawat dan salam semoga
senantiasa tercurah kepada Muhammad, keluarga dan
para pengikutnya yang setia hingga akhir masa. Amma
ba'du.

Kaum muslimin sekalian, semoga Allah melimpahkan
hidayah dan taufik-Nya kepada kita, seringkali
masyarakat dibingungkan oleh sebuah istilah yang
belum mereka mengerti dengan baik. Nah, dibangun di
atas kebingungan inilah kemudian muncul berbagai
persangkaan dan bahkan tuduhan bukan-bukan kepada
sesama saudara seiman. Perlu kita ingat bersama bahwa
cek dan ricek merupakan bagian dari keindahan ajaran
Islam yang harus kita jaga.
3
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Wahai orang-orang
yang beriman jika orang fasik datang kepada kalian
membawa berita maka telitilah kebenarannya…” (QS. Al
Hujuraat [49] : 6) (Silakan baca penjelasan ayat ini di
dalam rubrik Tafsir Majalah As Sunnah Edisi 01/Thn
X/1427 H/2006 M, hal. 11-15)

Saudara-saudara sekalian, di hadapan kita ada sebuah
istilah yang cukup populer namun sering disalahpahami
oleh sebagian orang. Istilah yang dimaksud adalah kata
salaf atau salafi dan salafiyah. Menimbang pentingnya
hakikat permasalahan ini untuk diungkap dan dijelaskan
maka kami memohon pertolongan kepada Allah ta’ala
untuk turut berpartisipasi mengurai ‘benang kusut’ ini.
Semoga Allah menjadikan amal-amal kita ikhlas untuk
mengharapkan wajah-Nya semata. Wallahu waliyyut
taufiiq.

Syaikh Salim Al Hilaly –salah satu murid senior Ahli
Hadits abad ini Syaikh Al Albani- hafizhahullah telah
membeberkan perkara ini dengan gamblang dalam buku
beliau Limadza ikhtartul manhaj salafy yang sudah
diterjemahkan oleh Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
hafizhahullah dengan judul Mengapa Memilih Manhaj
4
Salaf penerbit Pustaka Imam Bukhari, Solo. Kami sangat
menganjurkan kepada para pembaca sekalian untuk
memiliki atau membaca langsung buku tersebut. Orang
bilang, “Tak kenal maka tak sayang…”.

Pemahaman yang benar dan niat baik

Pada awal risalah ini kami ingin menukilkan sebuah
perkataan berharga dari Imam Ibnul Qayyim demi
mengingatkan kaum muslimin sekalian agar menjaga diri
dari dua bahaya besar, yaitu kesalahpahaman dan niat
yang buruk.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,
“Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah
termasuk nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah
kepada hamba-Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba
mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua
nikmat ini. Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya
agama Islam, dan Islam tegak di atas pondasi keduanya.

Dengan dua nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan
dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al 5
maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat
yang rusak. Dan juga dengan keduanya ia selamat dari
jebakan jalan orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-
orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan
itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang
yang diberi nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang
yang memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka
itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul
Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal.
44)

Oleh sebab itu di sini kami katakan :
Hendaknya kita semua berusaha seoptimal mungkin
untuk memahami persoalan yang kita hadapi ini sebaik-
baiknya dengan dilandasi niat yang baik yaitu untuk
mencari kebenaran dan kemudian mengikutinya. Hal ini
sangatlah penting. Karena tidak sedikit kita saksikan
orang-orang yang memiliki niat yang baik namun karena
kurang bisa mencermati hakikat suatu permasalahan
akhirnya dia terjatuh dalam kekeliruan, sungguh betapa
banyak orang semacam ini…

Di sisi lain adapula orang-orang yang apabila kita lihat
dari sisi taraf pendidikan atau gelar akademis yang
6
sudah didapatkannya (meskipun itu bukan menjadi
parameter pemahaman) adalah termasuk golongan
orang yang ‘mengerti’, namun amat disayangkan ilmu
yang diperolehnya tidak melahirkan ketundukan
terhadap manhaj salaf yang haq ini. Sehingga kita temui
adanya sebagian da’i yang lebih memilih manhaj/metode
selain manhaj salaf, padahal ia termasuk lulusan
Universitas Islam Madinah Saudi Arabia (Ini sekaligus
mengingatkan bahwa tempat sekolah seseorang
bukanlah ukuran kebenaran).

Bahkan ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan
predikat cum laude di sana.. Namun tatkala pulang ke
Indonesia, kembalilah dia ke pangkuan hizbiyyah
(kepartaian) dan larut dalam kancah politik ala Yahudi,
ikut berebut kursi dan memperbanyak jumlah acungan
jari… Wallahul musta’aan. Semoga Allah mengembalikan
mereka kepada kebenaran.

Marilah kita ingat sebuah ayat yang sangat indah yang
akan menunjukkan jalan untuk memecahkan segala
macam masalah. Allah ta’ala berfirman yang artinya,
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul serta Ulul amri di antara kalian. Kemudian 7
apabila kalian berselisih tentang suatu urusan maka
kembalikanlah pemecahannya kepada Allah dan Rasul,
jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari
akhir. Yang demikian itu pasti lebih baik bagi kalian dan
lebih bagus hasilnya” (QS. An Nisaa’ [4] : 59)

Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa yang dimaksud
ulul amri mencakup umara’ (penguasa/pemerintah) dan
juga ulama (ahli ilmu agama). Beliau juga menjelaskan
bahwa makna taatilah Allah artinya ikutilah Kitab-Nya (Al
Qur’an). Sedangkan makna taatilah Rasul adalah
ambillah ajaran (Sunnah) beliau.

Adapun makna ketaatan kepada ulul amri adalah dalam
rangka ketaatan kepada Allah bukan dalam hal maksiat.
Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda dalam hadits yang shahih, “Sesungguhnya
ketaatan itu hanya boleh dalam perkara ma’ruf (bukan
kemungkaran)” (HR. Bukhari dan Muslim)

Kemudian apabila kalian berselisih dalam suatu perkara
maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. Kalimat
tersebut maknanya adalah kembali merujuk kepada
8
Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, demikianlah tafsiran
Mujahid dan para ulama salaf yang lain.

Kemudian Imam Ibnu Katsir berkata, “Ini merupakan
perintah dari Allah ‘azza wa jalla bahwa segala sesuatu
yang diperselisihkan oleh manusia yang berkaitan
dengan permasalahan pokok-pokok agama maupun
cabang-cabangnya hendaknya perselisihan tentang hal
itu harus dikembalikan kepada Al Kitab dan As Sunnah.
Ini sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan
apa saja yang kalian perselisihkan maka keputusannya
kembali kepada Allah” (QS. Asy Syuura [42] : 10) Maka
segala keputusan yang diambil oleh Al Kitab dan As
Sunnah serta dipersaksikan keabsahannya oleh keduanya
itulah al haq (kebenaran). Dan tidak ada sesudah
kebenaran melainkan kesesatan…” (lihat Tafsir Al Qur’an
Al ‘Azhim, II/250)
9
Kata Salaf secara bahasa

Salaf secara bahasa artinya orang yang terdahulu, baik
dari sisi ilmu, keimanan, keutamaan atau jasa kebaikan.
Seorang pakar bahasa Arab Ibnu Manzhur mengatakan,
“Kata salaf juga berarti orang yang mendahului kamu,
yaitu nenek moyangmu, sanak kerabatmu yang berada di
atasmu dari sisi umur dan keutamaan. Oleh karenanya
maka generasi awal yang mengikuti para sahabat disebut
dengan salafush shalih (pendahulu yang baik).” (Lisanul
‘Arab, 9/159, dinukil dari Limadza, hal. 30)

Makna semacam ini serupa dengan kata salaf yang
terdapat di dalam ayat Allah yang artinya, “Maka tatkala
mereka membuat Kami murka, Kami menghukum
mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya di
laut dan Kami jadikan mereka sebagai salaf (pelajaran)
dan contoh bagi orang-orang kemudian.” (QS. Az
Zukhruf [43] : 55-56) Artinya adalah : Kami menjadikan
mereka sebagai pelajaran pendahulu bagi orang yang
melakukan perbuatan sebagaimana perbuatan mereka
supaya orang sesudah mereka mau mengambil pelajaran
dan mengambil nasihat darinya (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish Shalih, hal. 20)
10

Dengan demikian kita bisa serupakan makna kata salaf
ini dengan istilah nenek moyang dan leluhur dalam
bahasa kita. Dalam kamus Islam kata ini bukan barang
baru. Bahkan pada jaman Nabi kata ini sudah dikenal.
Seperti terdapat dalam sebuah sabda Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam kepada puterinya Fathimah radhiyallahu
‘anha. Beliau bersabda, “Sesungguhnya sebaik-baik
salafmu adalah aku.” (HR. Muslim) Artinya sebaik-baik
pendahulu. (lhat Limadza, hal. 30, baca juga Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, hal. 7)

Oleh sebab itu secara bahasa semua orang terdahulu
adalah salaf. Baik yang jahat seperti Fir’aun, Qarun, Abu
Jahal maupun yang baik seperti Nabi-Nabi, para syuhada
dan orang-orang shalih dari kalangan sahabat, dll.
Adapun yang akan kita bicarakan sekarang bukanlah
makna bahasanya, akan tetapi makna istilah. Hal ini
supaya jelas bagi kita semuanya dan tidak muncul
komentar, “Lho kalau begitu JIL juga salafi dong..!
Mereka ‘kan juga punya pendahulu”. Maaf, Mas..bukan
itu yang kami maksudkan.
11
Kemudian apabila muncul pertanyaan ‘Kenapa harus
disebutkan pengertian secara bahasa apabila ternyata
pengertian istilahnya menyelisihi pengertian bahasanya
?’. Maka kami akan menjawabnya sebagaimana jawaban
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah.

Beliau mengatakan, “Faidahnya adalah supaya kita
mengetahui keterkaitan makna antara objek penamaan
syari’at dan objek penamaan lughawi (menurut bahasa).
Sehingga akan tampak jelas bagi kita bahwasanya
istilah-istilah syari’at tidaklah melenceng secara total
dari sumber pemaknaan bahasanya. Bahkan sebenarnya
ada keterkaitan satu sama lain. Oleh sebab itulah anda
jumpai para fuqaha’ (ahli fikih atau ahli agama)
rahimahumullah setiap kali hendak mendefinisikan
sesuatu maka merekapun menjelaskan bahwa
pengertiannya secara etimologi (bahasa) adalah demikian
sedangkan secara terminologi (istilah) adalah demikian;
hal ini diperlukan supaya tampak jelas bagimu adanya
keterkaitan antara makna lughawi dengan makna
ishthilahi.” (lihat Syarh Ushul min Ilmil Ushul, hal. 38)

12
Istilah Salaf di kalangan para ulama

Apabila para ulama akidah membahas dan menyebut-
nyebut kata salaf maka yang mereka maksud adalah
salah satu di antara 3 kemungkinan berikut :
Pertama, para Shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
Kedua, shahabat dan murid-murid mereka (tabi’in)
Ketiga, shahabat, tabi’in dan juga para Imam yang telah
diakui kredibilitasnya di dalam Islam yaitu mereka yang
senantiasa menghidupkan sunnah dan berjuang
membasmi bid’ah (lihat Al Wajiz, hal. 21)

Syaikh Salim Al Hilaly hafizhahullah menerangkan,
“Adapun secara terminologi kata salaf berarti sebuah
karakter yang melekat secara mutlak pada diri para
sahabat radhiyallahu ‘anhum. Adapun para ulama
sesudah mereka juga tercakup dalam istilah ini karena
sikap dan cara beragama mereka yang meneladani para
sahabat.” (Limadza, hal. 30)

Syaikh Doktor Nashir bin Abdul Karim Al ‘Aql
mengatakan, “Salaf adalah generasi awal umat ini, yaitu
para sahabat, tabi’in dan para imam pembawa petunjuk
pada tiga kurun yang mendapatkan keutamaan (sahabat, 13
tabi’in dan tabi’ut tabi’in, red). Dan setiap orang yang
meneladani dan berjalan di atas manhaj mereka di
sepanjang masa disebut sebagai salafi sebagai bentuk
penisbatan terhadap mereka.” (Mujmal Ushul Ahlis
Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hal. 5-6)

Al Qalsyani mengatakan di dalam kitabnya Tahrirul
Maqalah min Syarhir Risalah, “Adapun Salafush shalih,
mereka itu adalah generasi awal (Islam) yang mendalam
ilmunya serta meniti jalan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam dan senantiasa menjaga Sunnah beliau. Allah
ta’ala telah memilih mereka untuk menemani Nabi-Nya
dan menegakkan agama-Nya. Para imam umat ini pun
merasa ridha kepada mereka. Mereka telah berjihad di
jalan Allah dengan penuh kesungguhan. Mereka
kerahkan daya upaya mereka untuk menasihati umat dan
memberikan kemanfaatan bagi mereka. Mereka juga
mengorbankan diri demi menggapai keridhaan Allah…” (
lihat Limadza, hal. 31)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik orang adalah di jamanku (sahabat),
kemudian orang sesudah mereka (tabi’in) dan kemudian
14
orang sesudah mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan
Muslim)

Sehingga Rasul beserta para sahabatnya adalah salaf
umat ini. Demikian pula setiap orang yang menyerukan
dakwah sebagaimana mereka juga disebut sebagai orang
yang menempuh manhaj/metode salaf, atau biasa
disebut dengan istilah salafi, artinya pengikut Salaf.
Adapun pembatasan istilah salaf hanya meliputi masa
sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in adalah pembatasan
yang keliru. Karena pada masa itupun sudah muncul
tokoh-tokoh pelopor bid’ah dan kesesatan. Akan tetapi
kriteria yang benar adalah kesesuaian akidah, hukum
dan perilaku mereka dengan Al Kitab dan As Sunnah
serta pemahaman salafush shalih.

Oleh karena itulah siapapun orangnya asalkan dia sesuai
dengan ajaran Al Kitab dan As Sunnah maka berarti dia
adalah pengikut salaf. Meskipun jarak dan masanya jauh
dari periode Kenabian. Ini artinya orang-orang yang
semasa dengan Nabi dan sahabat akan tetapi tidak
beragama sebagaimana mereka maka bukanlah
termasuk golongan mereka, meskipun orang-orang itu
sesuku atau bahkan saudara Nabi shallallahu 'alaihi wa 15
sallam (lihat Al Wajiz, hal. 22, Limadza. hal. 33 dan
Syarah Aqidah Ahlus Sunnah, hal. 8)

Contoh-contoh penggunaan kata Salaf

Kata salaf sering digunakan oleh Imam Bukhari di dalam
kitab Shahihnya. Imam Al Bukhari rahimahullah
mengatakan, “Rasyid bin Sa’ad berkata : Para salaf
menyukai kuda jantan. Karena ia lebih lincah dan lebih
berani.” Al Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menafsirkan
kata salaf tersebut, “Maksudnya adalah para sahabat dan
orang sesudah mereka.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang
dimaksud (oleh Rasyid) adalah para sahabat
radhiyallahu’anhum. Karena Rasyid bin Sa’ad adalah
seorang tabi’i (murid sahabat), sehingga orang yang
disebut salaf olehnya adalah para sahabat tanpa ada
keraguan padanya.”

Demikian pula perkataan Imam Bukhari, “Az Zuhri
mengatakan mengenai tulang bangkai semacam gajah
dan selainnya : Aku menemui sebagian para ulama salaf
yang bersisir dengannya (tulang) dan menggunakannya
sebagai tempat minyak rambut. Mereka memandangnya
tidaklah mengapa.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang
16
dimaksud (dengan salaf di sini) adalah para sahabat
radhiyallahu‘anhum, karena Az Zuhri adalah seorang
tabi’i.” (lihat Limadza, hal. 31-32)

Kata salaf juga digunakan oleh Imam Muslim di dalam
kitab Shahihnya. Di dalam mukaddimahnya Imam Muslim
mengeluarkan hadits dari jalan Muhammad bin
‘Abdullah. Ia (Muhammad) mengatakan : Aku mendengar
‘Ali bin Syaqiq mengatakan : Aku mendengar Abdullah
bin Al Mubarak mengatakan di hadapan orang banyak,
“Tinggalkanlah hadits (yang dibawakan) ‘Amr bin Tsabit.
Karena dia mencaci kaum salaf.” Syaikh Salim
mengatakan, “Yang dimaksud adalah para sahabat
radhiyallahu ‘anhum.” (Limadza, hal. 32)

Kata salaf juga sering dipakai oleh para ulama akidah di
dalam kitab-kitab mereka. Seperti contohnya sebuah
riwayat yang dibawakan oleh Imam Al Ajurri di dalam
kitabnya yang berjudul Asy Syari’ah bahwa Imam Auza’i
pernah berpesan, “Bersabarlah engkau di atas Sunnah.
Bersikaplah sebagaimana kaum itu (salaf) bersikap.
Katakanlah sebagaimana yang mereka katakan. Tahanlah
dirimu sebagaimana sikap mereka menahan diri dari
sesuatu. Dan titilah jalan salafmu yang shalih. Karena 17
sesungguhnya sudah cukup bagimu apa yang membuat
mereka cukup.” Syaikh Salim mengatakan, “Yang
dimaksud adalah sahabat ridhwanullahi ‘alaihim.” (lihat
Limadza, hal. 32) Hal ini karena Al Auza’i adalah seorang
tabi’i.

Kerancuan seputar istilah Salafiyah

Sedangkan yang dimaksud dengan salafiyah adalah
penyandaran diri kepada kaum salaf. Sehingga bukanlah
makna salafiyah sebagaimana yang disangka sebagian
orang sebagai aliran pesantren yang menggunakan
metode pengajaran yang kuno. Yang dengan
persangkaan itu mereka anggap bahwa salafiyah bukan
sebuah manhaj (metode beragama) akan tetapi sebagai
sebuah sistem belajar mengajar yang belum mengalami
moderenisasi. Dan yang terbayang di pikiran mereka
ketika mendengarnya adalah sosok para santri yang
berpeci hitam dan memakai sarung kesana kemari
dengan menenteng kitab-kitab kuning. Sebagaimana
itulah kenyataan yang ada pada sebagian kalangan yang
menisbatkan pondoknya sebagai pondok salafiyah,
namun realitanya mereka jauh dari tradisi ilmiah kaum
salaf. Syaikh Salim mengatakan, “Adapun salafiyah
18
adalah penisbatan diri kepada kaum salaf. Ini merupakan
penisbatan terpuji yang disandarkan kepada manhaj
yang lurus dan bukanlah menciptakan sebuah madzhab
yang baru ada.” (lihat Limadza, hal. 33)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan,
“Dan tidaklah tercela bagi orang yang menampakkan diri
sebagai pengikut madzhab salaf, menyandarkan diri
kepadanya dan merasa mulia dengannya. Bahkan wajib
menerima pengakuannya itu dengan dasar kesepakatan
(para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf tidak
lain adalah kebenaran itu sendiri.” (Majmu’ Fatawa,
4/149, lihat Limadza, hal. 33)

Maka sungguh aneh apabila ada orang jaman sekarang
ini yang menggambarkan kepada umat bahwasanya
salafiyah adalah sebuah aliran baru yang dicetuskan oleh
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab atau Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahumallah yang
‘memberontak’ dari tatanan yang sudah ada dengan
berbagai aksi penghancuran dan pengkafiran yang
membabi buta. Sehingga apabila mereka mendengar
istilah salafiyah maka yang tergambar di benak mereka
adalah kaum Wahabi yang suka mengacaukan 19
ketentraman umat dengan berbagai aksi penyerangan
dan tindakan-tindakan tidak sopan. Atau ada lagi yang
menganggap bahwa salafiyah adalah gerakan reformasi
dakwah yang dipelopori oleh Jamaluddin Al Afghani
bersama Muhammad ‘Abduh pada era penjajahan Inggris
di Mesir. Padahal ini semua menunjukkan bahwa mereka
itu sebenarnya tidak paham tentang sejarah munculnya
istilah ini.

Syaikh Salim mengatakan, “Orang yang mengeluarkan
pernyataan semacam ini atau yang turut
menyebarkannya adalah orang yang tidak mengerti
sejarah kalimat ini menurut tinjauan makna, asal-usul
dan perjalanan waktu yang hakikatnya tersambung
dengan para salafush shalih. Oleh karena itu sudah
menjadi kebiasaan para ulama pada masa terdahulu
untuk mensifati setiap orang yang mengikuti
pemahaman sahabat radhiyallahu ‘anhum dalam hal
akidah dan manhaj sebagai seorang salafi (pengikut
Salaf).

Lihatlah ucapan seorang ahli sejarah Islam Al Hafizh Al
Imam Adz Dzahabi di dalam kitabnya Siyar A’laamin
Nubalaa’ (16/457) ketika membawakan ucapan Al Hafizh
20
Ad Daruquthni, “Tidak ada yang lebih kubenci selain
menekuni ilmu kalam/filsafat.” Maka Adz Dzahabi pun
mengatakan (dengan nada memuji, red), “Orang ini (Ad
Daruquthni) belum pernah terjun dalam ilmu kalam sama
sekali begitu pula tidak menceburkan dirinya dalam
dunia perdebatan (yang tercela) dan beliau juga tidak
ikut meramaikan perbincangan di dalam hal itu. Akan
tetapi beliau adalah seorang salafi.” (Limadza, hal. 34-
35)

Perlu kita ketahui bersama bahwa Imam Ad Daruquthni
yang disebut sebagai ‘salafi’ oleh Imam Adz Dzahabi di
atas hidup pada tahun 306-385 H. Sedangkan Ibnu
Taimiyah hidup pada tahun 661-728 H. Adapun Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab hidup pada tahun 1115-
1206 H. Nah, pembaca bisa menyaksikan sendiri
siapakah yang lahir terlebih dahulu. Apakah Ibnu
Taimiyah atau bahkan Muhammad bin Abdul Wahhab itu
lahir sebelum Ad Daruquthni sehingga beliau layak
untuk disebut sebagai pengikut mereka berdua.. Apakah
dengan penukilan semacam ini kita akan menafsirkan
bahwa Imam Ad Daruquthni adalah pengikut Ibnu
Taimiyah atau Muhammad bin Abdul Wahhab ?? Jawablah
wahai kaum yang berakal … Anak kelas 5 SD pun (bukan 21
bermaksud meremehkan, red) tahu kalau yang namanya
pengikut itu adanya sesudah keberadaan yang diikuti,
bukan sebaliknya. Wallaahul musta’aan.

Penamaan Salafiyah bukan bid’ah

Kalau ada orang yang mengatakan bahwa istilah
salafiyah adalah istilah bid’ah karena ia tidak digunakan
pada masa sahabat radhiyallahu‘anhu. Maka jawabannya
ialah : Kata salafiyah memang belum digunakan oleh
Rasul dan para sahabat karena pada saat itu hal ini
belum dibutuhkan. Pada saat itu kaum muslimin
generasi awal masih hidup di dalam pemahaman Islam
yang shahih sehingga tidak dibutuhkan penamaan
khusus seperti ini. Mereka bisa memahami Islam dengan
murni tanpa perlu khawatir akan adanya penyimpangan
karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam masih
berada di antara mereka.

Hal ini sebagaimana mereka mampu berbicara dengan
bahasa Arab yang fasih tanpa perlu mempelajari ilmu
Nahwu, Sharaf dan Balaghah. Apakah ada di antara para
ulama yang membid’ahkan ilmu-ilmu tersebut karena
semata-mata tidak ada di jaman Nabi ?! Oleh karena
22
itulah tatkala muncul berbagai kekeliruan dan
penyimpangan dalam penggunaan bahasa Arab maka
muncullah ilmu-ilmu bahasa Arab tersebut demi
meluruskan kembali pemahaman dan menjaga keutuhan
bahasa Arab. Maka demikian pula dengan istilah
salafiyah.

Di saat sekarang ini ketika sekian banyak penyimpangan
pemahaman bertebaran di udara kaum muslimin maka
sangat dibutuhkan adanya rambu-rambu yang jelas demi
mengembalikan pemahaman Islam kepada pemahaman
yang masih murni dan lurus. Apalagi mayoritas
kelompok yang menyerukan pemahaman yang
menyimpang itu juga mengaku sebagai pengikut Al
Qur’an dan As Sunnah. Berdasarkan realita inilah para
ulama bangkit untuk berupaya memisahkan pemahaman
yang masih murni ini dengan pemahaman-pemahaman
lainnya dengan nama pemahaman ahli hadits dan salaf
atau salafiyah (lihat Limadza, hal. 36)

Kalaupun masih ada orang yang tetap ngotot
mengingkari istilah ini maka kami akan katakan
kepadanya : Kalau dia konsekuen dengan pengingkaran
ini maka dia pun harus menolak penamaan lainnya yang 23
tidak ada di jaman Nabi seperti istilah Hanbali (pengikut
fikih Ahmad bin Hanbal), Hanafi (pengikut fikih Abu
Hanifah), Nahdhiyyiin (pengikut Nahdhatul Ulama), dll.
Kalau dia mengatakan, “Oo, kalau ini berbeda…!” Maka
kami katakan : Baiklah, anggap istilah salafiyah berbeda
dengan istilah-istilah itu. Namun kami tetap mengatakan
bahwa penamaan salafiyah lebih layak untuk dipakai
daripada istilah Hanbali, Hanafi atau Nahdhiyyiin.

Alasannya adalah karena salafiyah adalah penisbatan
kepada generasi Shahabat yang sudah dipuji oleh Allah
dan Rasul-Nya dan terjaga secara umum dari bersepakat
dalam kesalahan. Adapun Hanbali, Hanafi dan
Nahdhiyyiin adalah penisbatan kepada individu dan
kelompok yang tidak terdapat dalil tegas tentang
keutamaannya serta tidak terjamin dari kesalahan
mereka secara kelompok.

Maka bagaimana mungkin kita bisa menerima
penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang tidak
ma’shum (terpelihara dari kesalahan) dan justru menolak
penisbatan kepada pribadi dan kelompok yang
ma’shum..?? Laa haula wa laa quwwata illa billaah… (lihat
Silsilah Abhaats Manhajiyah As Salafiyah 5 hal. 66-67
24
karya Doktor Muhammad Musa Nashr hafizhahullah,
silakan baca juga fatwa para ulama tentang wajibnya
berpegang teguh dengan manhaj Salaf di dalam Rubrik
Fatwa Majalah Al Furqan Edisi 8 Tahun V/Rabi’ul Awwal
1427 H/April 2006 M hal. 51-53. Bacalah..!)

Meninggalkan Salaf berarti meninggalkan Islam

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah
pernah ditanya :Kenapa harus menamakan diri dengan
salafiyah ? Apakah ia sebuah dakwah yang menyeru
kepada partai, kelompok atau madzhab tertentu.
Ataukah ia merupakan sebuah firqah (kelompok) baru di
dalam Islam ?

Maka beliau rahimahullah menjawab, “Sesungguhnya
kata Salaf sudah sangat dikenal dalam bahasa Arab.
Adapun yang penting kita pahami pada kesempatan ini
adalah pengertiannya menurut pandangan syari’at.
Dalam hal ini terdapat sebuah hadits shahih dari Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala beliau berkata
kepada Sayyidah Fathimah radhiyallahu ‘anha di saat
beliau menderita sakit menjelang kematiannya,
“Bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah. Dan 25
sesungguhnya sebaik-baik salaf (pendahulu)mu adalah
aku.” Begitu pula para ulama banyak sekali memakai
kata salaf. Dan ungkapan mereka dalam hal ini terlalu
banyak untuk dihitung dan disebutkan. Cukuplah kiranya
kami bawakan sebuah contoh saja. Ini adalah sebuah
ungkapan yang digunakan para ulama dalam rangka
memerangi berbagai macam bid’ah. Mereka
mengatakan, “Semua kebaikan ada dalam sikap
mengikuti kaum salaf…Dan semua keburukan
bersumber dalam bid’ah yang diciptakan kaum khalaf
(belakangan).” …”

Kemudian Syaikh melanjutkan penjelasannya, “Akan
tetapi ternyata di sana ada orang yang mengaku dirinya
termasuk ahli ilmu; ia mengingkari penisbatan ini
dengan sangkaan bahwa istilah ini tidak ada dasarnya di
dalam agama, sehingga ia mengatakan, “Tidak boleh
bagi seorang muslim untuk mengatakan saya adalah
seorang salafi.” Seolah-olah dia ini mengatakan,
“Seorang muslim tidak boleh mengatakan : Saya adalah
pengikut salafush shalih dalam hal akidah, ibadah dan
perilaku.” Dan tidak diragukan lagi bahwasanya
penolakan seperti ini –meskipun dia tidak bermaksud
demikian- memberikan konsekuensi untuk berlepas diri
26
dari Islam yang shahih yang diamalkan oleh para
salafush shalih yang mendahului kita yang ditokohi oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana
disinggung di dalam hadits mutawatir di dalam
shahihain dan selainnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam bahwa beliau bersabda, “Sebaik-baik manusia
adalah di jamanku (sahabat), kemudian diikuti orang
sesudah mereka, dan kemudian sesudah mereka.”

Oleh sebab itu maka tidaklah diperbolehkan bagi
seorang muslim untuk berlepas diri dari menisbatkan
dirinya kepada salafush shalih. Berbeda halnya dengan
penisbatan (salafiyah) ini, seandainya dia berlepas diri
dari penisbatan (kepada kaum atau kelompok) yang
lainnya niscaya tidak ada seorangpun di antara para
ulama yang akan menyandarkannya kepada kekafiran
atau kefasikan…” (Al Manhaj As Salafi ‘inda Syaikh Al
Albani, hal. 13-19, lihat Silsilah Abhaats Manhajiyah As
Salafiyah 5 hal. 65-66 karya Doktor Muhammad Musa
Nashr hafizhahullah)
27
Cinta Salaf berarti cinta Islam

Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya salaf atau para
sahabat adalah generasi pilihan yang harus kita cintai.
Sebagaimana kita mencintai Nabi maka kita pun harus
mencintai orang-orang pertama yang telah
mengorbankan jiwa, harta dan pikiran mereka untuk
membela dakwah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mereka itulah para sahabat yang terdiri dari Muhajirin
dan Anshar. Inilah akidah kita, tidak sebagaimana akidah
kaum Rafidhah/Syi’ah yang membangun agamanya di
atas kebencian kepada para sahabat Nabi.

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi rahimahullah mengatakan
di dalam kitab ‘Aqidahnya yang menjadi rujukan umat
Islam di sepanjang jaman, “Kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak
melampaui batas dalam mencintai salah satu di antara
mereka. Dan kami juga tidak berlepas diri dari
seorangpun di antara mereka. Kami membenci orang
yang membenci mereka dan kami juga membenci orang
yang menceritakan mereka dengan cara tidak baik. Kami
tidak menceritakan mereka kecuali dengan kebaikan.
Mencintai mereka adalah termasuk agama, iman dan
28
ihsan. Sedangkan membenci mereka adalah kekufuran,
kemunafikan dan pelanggaran batas.” (Syarah ‘Aqidah
Thahawiyah cet. Darul ‘Aqidah, hal. 488) Pernyataan
beliau ini adalah kebenaran yang dibangun di atas dalil-
dalil syari’at, bukan sekedar omong kosong dan bualan
belaka sebagaimana akidahnya kaum Liberal. Marilah
kita buktikan…

Berikut ini dalil-dalil hadits yang menunjukkan bahwa
mencintai kaum Anshar adalah tanda keimanan
seseorang. Imam Bukhari rahimahullah membuat sebuah
bab di dalam kitabul Iman di kitab Shahihnya dengan
judul ‘Bab tanda keimanan ialah mencintai kaum
Anshar’. Kemudian beliau membawakan sebuah hadits
dari Anas dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau
bersabda, “Tanda keimanan adalah mencintai kaum
Anshar, dan tanda kemunafikan adalah membenci kaum
Anshar”. (Bukhari no 17)

Imam Muslim juga mengeluarkan hadits ini di dalam
kitabul Iman dengan lafazh, “Tanda orang munafik
adalah mencintai Anshar. Dan tanda orang beriman
adalah mencintai Anshar.” (Muslim no. 74) 29
Di dalam bab Fadha’il Anshar (Keutamaan kaum Anshar)
Imam Bukhari juga membawakan hadits Barra’ bin ‘Azib
bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
“Kaum Anshar, tidak ada orang yang mencintai mereka
kecuali orang beriman.”

Imam Muslim juga meriwayatkan di dalam kitab
shahihnya dari Abu Sa’id bahwa Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam bersabda, “Tidak ada seorangpun yang
beriman kepada Allah dan hari akhir lantas membenci
kaum Anshar.” (Muslim no. 77)

Dalam riwayat lain dikatakan, “Tidaklah mencintai
mereka kecuali orang beriman dan tidaklah membenci
mereka kecuali orang munafik. Barangsiapa yang
mencintai mereka maka Allah mencintainya. Dan
barangsiapa yang membenci mereka maka Allah juga
membencinya.” (Muslim no. 75)

Begitu pula Imam Ahmad mengeluarkan hadits dari Abu
Sa’id di dalam Musnadnya, bahwa Nabi bersabda,
“Mencintai kaum Anshar adalah keimanan dan membenci
mereka adalah kemunafikan.” (lihat Fathul Bari, 1/80,
Syarah Muslim, 2/138-139)
30
Imam Nawawi rahimahullah ketika menjelaskan sebagian
hadits di atas mengatakan, “…Makna hadits-hadits ini
adalah barangsiapa yang mengakui kedudukan kaum
Anshar, keunggulan mereka dalam hal pembelaan
terhadap agama Islam, upaya mereka dalam
menampakkannya, dan melindungi umat Islam (dari
serangan musuhnya), dan juga kesungguhan mereka
dalam menunaikan tugas penting dalam agama Islam
yang dibebankan kepada mereka, kecintaan mereka
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam serta kecintaan
Nabi kepada mereka, kesungguhan mereka dalam
mengerahkan harta dan jiwa di hadapan beliau,
peperangan dan permusuhan mereka terhadap semua
umat manusia (yang menentang dakwah Nabi, red) demi
menjunjung tinggi Islam….maka ini semua menjadi salah
satu tanda kebenaran iman dan ketulusannya dalam
memeluk Islam…” (Syarah Muslim, 2/139)

Selain itu dalil-dalil dari Al Qur’an juga lebih jelas lagi
menunjukkan kepada kita bahwa mencintai para sahabat
adalah bagian keimanan yang tidak bisa dipisahkan.
Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Para
sahabat adalah generasi terbaik, ini berdasarkan sabda
Nabi ‘alaihis shalatu was salam, “Sebaik-baik kurun 31
(masa) adalah masaku. Kemudian orang-orang yang
mengikuti sesudah mereka. Dan kemudian generasi
berikutnya yang sesudah mereka.” Maka mereka itu
adalah kurun terbaik karena keutamaan mereka dalam
bersahabat dengan Nabi ‘alaihish shalatu was salam.
Sehingga mencintai mereka adalah keimanan dan
membenci mereka adalah kemunafikan. Allah ta’ala
berfirman yang artinya, “..Supaya Allah membuat orang-
orang kafir benci dengan adanya mereka (para sahabat).”
(QS. Al Fath [48] : 29)

Maka kewajiban seluruh umat Islam adalah mencintai
keseluruhan para sahabat dengan dalil tegas dari ayat
ini. Karena Allah ‘azza wa jalla sudah mencintai mereka
dan juga kecintaan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
kepada mereka. Dan juga karena mereka telah berjihad
di jalan Allah, menyebarkan agama Islam ke berbagai
belahan timur dan barat bumi, mereka muliakan Rasul
dan beriman kepada beliau. Mereka juga telah mengikuti
cahaya petunjuk yang diturunkan bersamanya. Inilah
akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.” (Syarah ‘Aqidah
Thahawiyah, hal. 489-490)

32
Catatan :

Perlu kita perhatikan riwayat yang dibawakan oleh Syaikh
Shalih Al Fauzan di atas yaitu hadits yang bunyinya,
“Sebaik-baik kurun (masa) adalah masaku dst” dengan
lafazh Khairul quruun…. Syaikh Salim Al Hilaly
mengatakan, “Hadits ini tersebar di dalam banyak kitab
dengan lafazh Khairul quruun (sebaik-baik masa). Saya
(Syaikh Salim) katakan : Lafazh ini tidak terpelihara
keotentikannya. Adapun yang benar adalah yang sudah
kami sebutkan (yaitu Khairunnaas; sebaik-baik manusia,
red).” (lihat Limadza ikhtartul manhaj salafi, hal. 87)

Benci Salaf berarti benci Islam

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Muhammad itu
adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama
dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu lihat
mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka 33
tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman
itu menyenangkan hati penanam-penanamnya Karena
Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir
(dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah
menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan
dan pahala yang besar.” (QS. Al Fath [48] : 29) Di dalam
ayat ini disebutkan bahwa salah satu ciri para sahabat
yaitu membuat jengkel dan marah orang-orang kafir.

Imam Ibnu Katsir mengatakan di dalam tafsirnya
terhadap ayat yang mulia ini, “Dan berdasarkan ayat
inilah Imam Malik rahimahullah menarik sebuah
kesimpulan hukum sebagaimana tertera dalam salah
satu riwayat darinya untuk mengkafirkan kaum Rafidhah
(bagian dari Syi’ah) yang membenci para sahabat
radhiyallahu’anhum. Beliau (Imam Malik) mengatakan,
“Hal itu karena mereka (para sahabat) membuat benci
dan jengkel mereka (kaum Rafidhah). Barangsiapa yang
membenci para sahabat radhiyallahu’anhum maka dia
telah kafir berdasarkan ayat ini.” Dan sekelompok ulama
radhiyallahu’anhum pun ikut menyetujui sikap beliau
ini…” (lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 7/280)
34
Dari perkataan Imam Malik dan penjelasan Imam Ibnu
Katsir ini teranglah bagi kita bahwasanya konflik yang
terjadi antara kaum Syi’ah (yang dulu maupun para
pengikut Khomeini yang ada sekarang ini) dengan Ahlus
Sunnah/Sunni bukanlah konflik politik atau perebutan
kekuasaan yang diselimuti dengan jubah agama
sebagaimana yang dikatakan oleh Gus Dur –semoga
Allah memberinya petunjuk-.

Kyai ini mengatakan di dalam sebuah wawancaranya
dengan JIL (yang sama-sama suka menebarkan syubhat
kepada umat Islam), “Konflik itu (maksudnya antara
Syi’ah dan Sunni, red) muncul akibat doktrin agama yang
dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada
kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap
menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan
mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung atau
pengikut di dalam bahasa Arab disebut syî`ah.
Selanjutnya kata syî`ah ini menjadi sebutan dan identitas
bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu
firkah teologis dalam Islam. Sedangkan pihak yang
menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan
Sunni. Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang 35
perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun
doktrin agama dibawa-bawa.” (wawancara JIL dengan
Gus Dur tentang RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi)

Ini adalah kedustaan … !!! (silakan baca tulisan Ustadz
Abdul Hakim Abdat dalam Al Masaa’il jilid 3 Masalah 66,
hal 42-72 yang membongkar kedok kaum Syi’ah dengan
menyertakan fatwa-fatwa para ulama tentang
Rafidhah/Syi’ah. Baca juga Majalah Al Furqon Edisi 6
Tahun V/Muharram 1427 dengan tema Agama Syi’ah
Semoga Allah memberikan ganjaran yang besar kepada
ustadz-ustadz kita karena jasa mereka ini. Bacalah !!)

Imam Ibnu Katsir juga mengatakan, “…Para sahabat itu
memiliki keutamaan lebih, begitu pula lebih dahulu
(berjasa bagi umat Islam) dan lebih sempurna, yang
tidak ada seorangpun di antara umat ini yang mampu
menyamai kehebatan mereka, semoga Allah meridhai
mereka dan aku pun ridha kepada mereka. Allah telah
menyiapkan surga-surga Firdaus sebagai tempat tinggal
mereka, dan Allah telah menetapkan hal itu.

(Imam) Muslim mengatakan di dalam shahihnya : Yahya
bin Yahya menceritakan kepada kami, Abu Mu’awiyah
36
menceritakan kepada kami dari Al A‘masy dari Abu
Shalih dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu. Beliau
mengatakan : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda, “Janganlah kalian mencaci para sahabatku.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya
ada salah seorang di antara kalian yang berinfak emas
sebesar Gunung Uhud niscaya itu tidak bisa mencapai
(pahala) satu mud sedekah mereka, bahkan setengahnya
juga tidak.” (HR. Muslim dalam Fadha’il Shahabah,
diriwayatkan juga Al Bukhari dalam kitab Al Manaaqib
no. 3673).” (lihat Tafsir Ibnu Katsir 7/280)

Allah meridhai Salaf dan para pengikutnya

Di dalam ayat yang lain Allah ta’ala juga berfirman yang
artinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun
ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya
selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah
kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah [9] : 100)
37
Di dalam ayat ini Allah memuji tiga golongan manusia
yaitu : kaum Muhajirin, kaum Anshar dan orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik. Maka kita katakan
bahwa Muhajirin dan Anshar itulah generasi salafsuh
shalih. Sedangkan orang-orang yang mengikuti mereka
dengan baik itulah yang disebut sebagai salafi.

Al Ustadz Abdul Hakim Abdat hafizhahullah mengatakan,
“Ayat yang mulia ini merupakan sebesar-besar ayat yang
menjelaskan kepada kita pujian dan keridhaan Allah
kepada para Shahabat radhiyallahu ‘anhum. Bahwa Allah
‘azza wa jalla telah ridha kepada para Shahabat dan
mereka pun ridha kepada Allah ‘azza wa jalla. Dan Allah
‘azza wa jalla juga meridhai orang-orang yang mengikuti
perjalanan para Shahabat dari tabi’in, tabi’ut tabi’in dan
setrusnya dari orang alim sampai orang awam di timur
dan di barat bumi sampai hari ini. Mafhum-nya, mereka
yang tidak mengikuti perjalanan para Shahabat, apalagi
sampai mengkafirkannya, maka mereka tidak akan
mendapatkan keridhaan Allah subhanahu wa ta’ala.” (Al
Masaa’il jilid 3, hal. 74)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan tentang
tafsir ayat ini, ”Allah ta’ala mengabarkan bahwa
38
keridhaan-Nya tertuju kepada orang-orang yang terlebih
dahulu (masuk Islam) yaitu kaum Muhajirin dan Anshar
dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.
Sedangkan bukti keridhaan-Nya kepada mereka adalah
dengan mempersiapkan surga-surga yang penuh
dengan kenikmatan serta kelezatan yang abadi bagi
mereka…” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140)

Imam Al Alusi menerangkan bahwa yang dimaksud
dengan As Saabiquun adalah seluruh kaum Muhajirin
dan Anshar (Ruuhul Ma’aani, Maktabah Syamilah)

Imam Syaukani menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan, “Orang-orang yang mengikuti” di dalam ayat ini
adalah orang-orang sesudah mereka (para sahabat)
hingga hari kiamat. Adapun kata-kata, “dengan baik”
merupakan ciri pembatas yang menunjukkan jati diri
mereka. Artinya mereka adalah orang-orang yang
mengikuti para sahabat dengan senantiasa berpegang
teguh dengan kebaikan dalam hal perbuatan maupun
perkataan sebagai bentuk peniruan mereka terhadap As
Sabiquunal Awwaluun, tafsiran serupa juga disampaikan
oleh Syaikh As Sa’di di dalam tafsirnya (Lihat Fathul
Qadir dan Taisir Karimir Rahman, Maktabah Syamilah) 39

Imam Ibnu Jarir Ath Thabari mengatakan di dalam
tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan “Orang-orang
yang mengikuti mereka dengan baik” di dalam ayat ini
adalah : Orang-orang yang meniti jalan mereka dalam
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta berhijrah dari
negeri kafir menuju negeri Islam dalam rangka mencari
keridhaan Allah..” (Tafsir Ath Thabari, Maktabah
Syamilah)

Imam Asy Syinqithi rahimahullah mengatakan, “(Ayat) Ini
merupakan dalil tegas dari Al Qur’an yang menunjukkan
bahwasanya barangsiapa mencaci mereka (para sahabat)
dan membenci mereka maka dia adalah orang yang sesat
dan menentang Allah jalla wa ‘ala, dimana dia telah
berani membenci suatu kaum yang telah diridhai Allah.
Dan tidak diragukan lagi bahwa kebencian kepada orang
yang sudah diridhai Allah merupakan sikap penentangan
kepada Allah jalla wa ‘ala, tindakan congkak dan
melampaui batas.” (lihat Adhwaa’ul Bayaan, Maktabah
Syamilah)

Masih dalam konteks penafsiran ayat ini Imam Ibnu
Katsir rahimahullah memberikan sebuah komentar pedas
40
yang akan membakar telinga ahlul bid’ah pencela
shahabat. Beliau mengatakan, “Duhai alangkah celaka
orang yang membenci atau mencela mereka (semua
sahabat), sungguh celaka orang yang membenci atau
mencela sebagian mereka…”

Setelah memberitakan sikap orang-orang Rafidhah yang
memusuhi, membenci dan mencela orang-orang terbaik
sesudah Nabi (diantaranya Abu Bakar dan ‘Umar) Imam
Ibnu Katsir mengatakan, “Sikap ini (yaitu permusuhan,
kebencian dan celaan kaum Rafidhah atau Syi’ah)
menunjukkan bahwa akal mereka sudah terbalik dan hati
mereka juga sudah terbalik. Lalu dimanakah letak
keimanan mereka terhadap Al Qur’an sehingga berani-
beraninya mereka mencela orang-orang yang telah
diridhai oleh Allah ?...” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/140)

Maka hanguslah telinga-telinga ahlul bid’ah;… mereka
yang membenci dan mencaci maki para shahabat;
generasi terbaik yang pernah hidup di permukaan bumi
ini, radhiyallahu ‘anhum wa ardhaahum (Allah ridha
kepada mereka dan sayapun ridha kepada mereka).
41
Pemahaman Salaf adalah jalan keluar perselisihan

Abu Naajih ‘Irbadh bin Saariyah radhiyallahu’anhu
mengatakan, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
pernah memberikan sebuah nasihat kepada kami dengan
nasihat yang membuat hati bergetar dan air mata
bercucuran. Maka kamipun mengatakan kepada beliau,
“Wahai Rasulullah. Seolah-olah ini merupakan nasihat
dari orang yang hendak berpisah. Maka sudilah kiranya
anda memberikan wasiat kepada kami”.

Beliau pun bersabda : “Aku wasiatkan kepada kalian
supaya senantiasa bertakwa kepada Allah. Dan tetaplah
mendengar dan taat (kepada pemimpin). Meskipun yang
memimpin kalian adalah seorang budak. Karena
sesungguhnya barangsiapa yang hidup sesudahku
niscaya akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka
berpeganglah dengan Sunnahku, dan Sunnah para
khalifah yang lurus dan berpetunjuk. Gigitlah sunnah itu
dengan gigi-gigi geraham. Serta jauhilah perkara-
perkara yang diada-adakan (di dalam agama). Karena
semua bid’ah (perkara yang diada-adakan dalam agama)
adalah sesat”

42
Imam Nawawi mengatakan : (hadits ini) diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
menilainya ‘Hadits hasan shahih’. Pentakhrij Ad Durrah
As Salafiyah menyebutkan bahwa derajat hadits ini :
shahih. Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad (4/126), Abu
Dawud (4607), Tirmidzi (2676), Al Haakim (1/174), Ibnu
Hibaan (1/179) serta dinyatakan shahih oleh Al Albani
dalam Shahihul Jaami’ hadits no. 2549 (lihat Ad Durrah
As Salafiyyah Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, cet.
Markaz Fajr lith Thab’ah hal. 199, Lihat juga Lau Kaana
khairan, hal. 164)

Di dalam hadits yang mulia ini Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam telah memberikan sebuah solusi bagi
umat tatkala menyaksikan sekian banyak perselisihan
yang ada sesudah beliau wafat : yaitu berpegang teguh
dengan Sunnah Nabi dan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin.
Imam Nawawi menerangkan bahwa yang dimaksud
Khulafa’ur Rasyidin adalah para khalifah yang empat
yaitu; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali
radhiyallahu’anhum (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal.
201) Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied juga menjelaskan bahwa
mereka adalah keempat khalifah tersebut berdasarkan
ijma’ (lihat Ad Durrah As Salafiyah, hal. 202) 43
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin mengatakan,
“Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kita
tatkala melihat perselisihan ini (yaitu banyaknya
perselisihan, sebagaimana disebutkan di dalam hadits)
supaya berpegang teguh dengan Sunnah beliau. Arti dari
ungkapan ‘alaikum bi sunnatii ialah; Berpegang teguhlah
dengannya (dengan Sunnah Nabi)..”. Beliau rahimahullah
juga berkata, “Sedangkan makna kata Sunnah beliau
‘alaihish shalaatu was salaam adalah : jalan yang beliau
tempuh, yang mencakup akidah, akhlak, amal, ibadah
dan lain sebagainya. Kita harus berpegang teguh dengan
Sunnah (ajaran) beliau.

Dan kita pun berhakim kepadanya. Sebagaimana yang
difirmankan Allah ta’ala yang artinya, “Maka demi
Tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang
kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya” (QS. An Nisaa’ [4] : 65)” Dengan demikian
Sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah satu-
satunya jalan keselamatan bagi orang yang dikehendaki
Allah untuk selamat dari berbagai perselisihan dan
44
berbagai macam kebid’ahan…” (Syarh Riyadhush
Shalihin, I/603)

Di dalam keterangan beliau terhadap Hadits Arba’in
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “…Kemudian beliau shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan supaya kita berpegang teguh
dengan Sunnah-nya; yaitu jalan beliau, dan juga supaya
berpegang teguh dengan jalan Khulafa’ur Rasyidin Al
Mahdiyyin. Dan juga termasuk di dalamnya (Khulafa’ur
Rasyidin) adalah para khalifah/pengganti Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dalam hal ilmu, ibadah dan
dakwah pada umatnya, dan sebagai pemuka mereka
ialah Empat orang Khalifah yaitu Abu Bakar, ‘Umar,
‘Utsman dan ‘Ali radhiyallahu’anhum.” (lihat Ad Durrah
As Salafiyah, hal. 203)

Keterangan Syaikh ‘Utsaimin ini serupa dengan
keterangan Imam Al Mubarakfuri. Beliau mengatakan,
“Sesungguhnya hadits itu umum berlaku bagi setiap
khalifah yang lurus dan tidak dikhususkan bagi dua
orang Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) saja. Dan telah
dimaklumi berdasarkan kaidah-kaidah syari’at bahwa
seorang khalifah yang lurus tidak diperkenankan untuk 45
menetapkan suatu jalan selain jalan yang ditempuh oleh
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Tuhfatul Ahwadzi,
3/50-51, dinukil dari Limadza, hal. 74-75)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan (Majmu’
Fatawa, 1/282), “Adapun yang dimaksud dengan Sunnah
(ajaran) Khulafa’ur Rasyidin maka sebenarnya mereka
tidaklah menggariskan sebuah ajaran kecuali
berdasarkan perintah beliau (Nabi), maka dengan begitu
ia termasuk bagian dari Sunnah beliau…” (dinukil dari
Limadza, hal. 73) Di dalam Tuhfatul Ahwadzi (3/50 dan
7/420)

Al Mubarakfuri juga mengatakan, “Bukanlah yang
dimaksud dengan Sunnah Khulafa’ur Rasyidin kecuali
jalan hidup mereka yang sesuai dengan dengan jalan
hidup Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam…” (dinukil dari
Limadza, hal. 73)

Kesimpulan dari penjelasan para ulama di atas ialah
sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al Hilali. Beliau
mengatakan, “Dengan demikian kesimpulan semua
keterangan ini menunjukkan bahwa Sunnah Khulafa’ur
Rasyidin adalah pemahaman para Shahabat radhiyallahu
46
‘anhum terhadap agama, karena mereka senantiasa
meniti jalan sebagaimana jalan pemahaman dan
penerapan Islam yang diajarkan oleh Nabi mereka…”
(Limadza, hal. 75)

Maka kita juga mengatakan bahwasanya jalan keluar
bagi umat Islam dari sekian banyak perselisihan yang
dapat kita saksikan dengan mata kepala kita pada hari
ini berupa munculnya berbagai macam firqah dan aliran-
aliran adalah memegang teguh Sunnah (ajaran)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dengan mengikuti
pemahaman para Shahabat radhiyallahu‘anhum. Atau
dengan kalimat yang ringkas kita katakan ‘Dengan
mengikuti manhaj salaf’. Inilah hakikat dari istilah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Barangsiapa tidak mengikuti
pemahaman para Shahabat maka dia telah menentang
Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang agung ini.

Hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah

As Sunnah secara bahasa artinya jalan. Adapun secara
istilah As Sunnah adalah ajaran Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam beserta para sahabatnya, baik berupa
keyakinan, perkataan maupun perbuatan. Dalam hal ini 47
Sunnah menjadi lawan dari bid’ah. Bukan sunnah dalam
terminologi fikih. Karena sunnah menurut istilah fikih
adalah segala perbuatan ibadah yang bila dikerjakan
berpahala akan tetapi bila ditinggalkan tidak berdosa.
Maka sunnah yang dimaksud dalam istilah Ahlus Sunnah
adalah seluruh ajaran Rasul dan para sahabat, baik yang
hukumnya wajib maupun sunnah !! (silakan baca Lau
Kaana Khairan karya Ustadz Abdul Hakim, hal. 14-17
baca juga Panduan Aqidah Lengkap penerbit Pustaka
Ibnu Katsir hal. 36-40)

Al Jama’ah secara bahasa artinya kumpulan orang yang
bersepakat untuk suatu perkara. Sedangkan menurut
istilah syar’i al jama’ah berarti orang-orang yang bersatu
di atas kebenaran yaitu jama’ah para sahabat beserta
orang-orang sesudah mereka hingga hari kiamat yang
meniti jejak mereka dalam beragama di atas Al Kitab dan
As Sunnah secara lahir maupun batin. Oleh karena itu
seorang Sahabat yang mulia Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan, “Al Jama’ah
adalah segala yang sesuai dengan al haq walaupun
engkau seorang diri.” (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati Salafish
Shalih, hal. 29 dan 30)

48
Ukuran seseorang berada di atas jama’ah bukanlah
jumlah. Akan tetapi ukurannya adalah sejauh mana dia
berpegang teguh dengan kebenaran yaitu Islam yang
murni yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu
ta’ala ‘anhum. Sebagaimana hal ini telah diisyaratkan
oleh Rasul ketika menceritakan akan terjadi perpecahan
umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka
kecuali satu yaitu al jama’ah. Dalam riwayat lain
dijelaskan bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
beragama sebagaimana Nabi dan para sahabat.

Hadits perpecahan umat adalah hadits yang sah menurut
ulama ahli hadits. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah mengatakan di dalam Majmu’ Fatawa
(3/345), “Hadits tentang perpecahan umat adalah hadits
yang shahih dan sangat populer di dalam kitab-kitab
sunan dan musnad” (lihat Al Minhah Al Ilahiyah fi
Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, hal. 348, Silsilah Ash
Shahihah no. 203 dan 204 karya Al Imam Al Albani
rahimahullah, baca keterangan tentang status dan
faidah-faidah dari hadits perpecahan umat di dalam
buku Lau Kaana Khairan, hal. 190-196)
49
Sehingga hakikat Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah
orang-orang yang berpegang teguh dengan Sunnah Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam dan Sunnah para sahabatnya
dan juga orang-orang yang mengikuti mereka dan
menempuh jalan mereka dalam berkeyakinan, berucap
dan mengerjakan amalan, demikian pula orang-orang
yang konsisten di atas jalur ittiba’ (mengikuti Sunnah)
dan menjauhi jalur ibtida’ (mereka-reka bid’ah). Mereka
senantiasa ada, eksis dan mendapatkan pertolongan
(dari Allah) hingga datangnya hari kiamat. Oleh sebab itu
maka mengikuti mereka adalah hidayah sedangkan
menyelisihi mereka adalah kesesatan. Mereka itulah yang
disebut dengan istilah salaf (lihat Al Wajiz fi ‘Aqidati
Salafish Shalih, hal. 30, Panduan Aqidah Lengkap hal. 40,
baca juga definisi Ahlus Sunnah di dalam Ma’alim Ushul
Fiqh ‘inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah hal. 17-18, karya
Syaikh Doktor Muhammad bin Husain Al Jizani
hafizhahullah)

Sedangkan lawan dari Ahlus Sunnah adalah Ahlul bid’ah
yaitu orang-orang yang tetap mengerjakan bid’ah
sesudah ditegakkan hujjah atas mereka, baik bid’ah
I’tiqadiyyah (keyakinan) maupun bid’ah amaliyah
(amalan), tetapi kemudian mereka tetap istiqamah
50
dengan bid’ahnya (lihat Lau Kaana Khairan, hal. 170) Kita
tidak boleh sembarangan dalam menghukumi seseorang
atau jama’ah sebagai ahli bid’ah. Syaikh Al Albani
berkata, “Terjatuhnya seorang ulama dalam bid’ah
tidaklah secara otomatis menjadikannya sebagai seorang
ahli bid’ah….” “…Ada dua persyaratan agar seseorang
dikatakan sebagai ahli bid’ah :
1. Ia bukanlah seorang mujtahid, namun seorang
pengikut hawa nafsu
2. Berbuat bid’ah merupakan kebiasaannya
(Silsilah Huda wa Nur, kaset no. 785)

Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad (Ahli hadits Madinah saat
ini) berkata, “Tidak semua orang yang melakukan bid’ah
secara otomatis menjadi ahli bid’ah. Hanyalah dikatakan
ahli bid’ah bagi orang yang telah jelas dan dikenal
dengan bid’ahnya. Sebagian orang sangat berani dalam
pembid’ahan sampai-sampai mentabdi’ orang yang
memiliki kebaikan dan memberi manfaat yang banyak
bagi masyarakat. Sebagian orang menyebut setiap orang
yang menyelisihinya sebagai ahli bid’ah.” (dinukil dari
Lerai Pertikaian, Sudahi Permusuhan karya Ustadz Abu
Abdil Muhsin hafizhahullah)
51
Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :
Siapakah yang dimaksud dengan Ahlus Sunnah wal
Jama’ah ?

Beliau menjawab, “Yang disebut sebagai Ahlus Sunnah
wal jama’ah hanyalah orang-orang yang benar-benar
berpegang teguh dengan As Sunnah (ajaran Nabi) dan
mereka bersatu di atasnya. Mereka tidak menyimpang
kepada selain ajaran As Sunnah, baik dalam urusan
keyakinan ilmiah maupun dalam masalah amal praktik
hukum.

Oleh sebab inilah mereka disebut dengan Ahlus Sunnah,
yaitu karena mereka bersatu padu di atasnya (di atas
Sunnah). Dan apabila anda cermati keadaan ahlul bid’ah
niscaya anda dapatkan mereka itu berselisih dalam hal
metode akidah dan amaliah, ini menunjukkan bahwa
mereka itu sangat jauh dari petunjuk As Sunnah,
tergantung dengan kadar kebid’ahan yang mereka
ciptakan” (Fatawa Arkanul Islam, hal. 21)

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki sebutan lain di
kalangan para ulama yaitu : Ash-habul Hadits atau Ahlul
Hadits (pengikut dan pembela hadits), Ahlul Atsar
52
(pengikut jejak salaf), Ahlul Ittiba’ (Peniti Sunnah Nabi),
Al Ghurabaa’ (Orang-orang yang terasing dari berbagai
keburukan), Ath Thaa’ifah Al Manshurah (Kelompok yang
mendapatkan pertolongan Allah) dan Al Firqah An
Najiyah (Golongan yang selamat).

Dan pada saat sekarang ini ketika banyak kelompok
dalam tubuh umat Islam yang mendaku sebagai Ahlus
Sunnah wal Jama’ah dan pengikut Al Kitab dan As
Sunnah namun ternyata praktik dan ajarannya jauh
menyimpang dari prinsip-prinsip Salafush Shalih maka
bangkitlah para ulama untuk memberikan sebuah istilah
pembeda yaitu Salafiyun (para pengikut Salaf) (lihat
Mujmal Ushul Ahlis Sunnah, hal. 6, Limadza hal. 36-38,
Minhaaj Al Firqah An Najiyah, hal. 6-17 dan Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas, hal. 7-14)

Apabila para pembaca ingin mengetahui lebih dalam
tentang sejarah munculnya istilah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah maka kami sarankan untuk membaca Syarah
‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah karya Ustadz Yazid
bin Abdul Qadir Jawas yang diterbitkan Pustaka At Taqwa
hal. 14-17. Di sana beliau sudah menerangkan hal ini, 53
semoga Allah memberikan balasan sebaik-baiknya
kepada beliau. Dan bagi para pembaca yang ingin
membaca keterangan yang menjelaskan bahwa Al
Firqatun Najiyah adalah Ath Tha’ifah Al Manshurah juga
sama dengan Ahlul Hadits maka silakan baca buku
Mereka Adalah Teroris cet. I hal. 77-95.

Semoga Allah merahmati para ustadz kita dan
menyatukan mereka dalam barisan dakwah Salafiyah
dalam membumihanguskan gerombolan dakwah Ahlul
bid’ah,..Aammiin.

Hanya satu yang selamat !

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah pernah ditanya :Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam pernah memberitakan
tentang terjadinya perpecahan umatnya sesudah beliau
wafat. Kami sangat mengharapkan keterangan dari yang
mulia tentang hal itu ?

Beliau menjawab, “Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah
memberitakan dalam hadits-hadits yang sah (riwayat
Abu Dawud di Kitab As Sunnah bab Syarhu Sunnah
(4596), At Tirmidzi di Kitabul Iman bab Iftiraqu
54
hadzihihil ummah (2642), Ibnu Majah di Kitabul Fitan
bab Iftiraqul Ummah (3991)).

Hadits-hadits itu menceritakan bahwa kaum Yahudi
berpecah belah menjadi 71 kelompok/firqah. Sedangkan
kaum Nashara berpecah menjadi 72 firqah. Dan umat ini
akan berpecah menjadi 73 firqah. Seluruh firqah ini
terancam berada di neraka kecuali satu firqah. Firqah
tersebut terdiri dari orang-orang yang berpegang teguh
dengan ajaran dan pemahaman agama sebagaimana
yang diajarkan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam beserta
para sahabatnya.

Kelompok inilah yang disebut dengan Al Firqah An
Najiyah (kelompok yang selamat). Mereka selamat dari
kebid’ahan ketika berada di dunia. Dan mereka
terselamatkan dari api neraka ketika di akhirat kelak.
Inilah Ath Thaa’ifah Al Manshuurah (kelompok yang
diberi pertolongan dan dimenangkan) yang akan tetap
eksis hingga datangnya hari kiamat. Mereka senantiasa
menang dan mendapatkan ketegaran dalam menegakkan
agama Allah ‘azza wa jalla”.
55
“Tujuh puluh tiga firqah ini, salah satunya berada di atas
kebenaran sedangkan selainnya berada di atas kebatilan.
Sebagian ulama berusaha untuk merincinya satu persatu
dan menyimpulkannya menjadi lima aliran utama ahlul
bida’ (kaum pembela bid’ah). Dari setiap aliran itu
mereka bagi lagi menjadi beberapa sekte sampai bisa
mencapai total bilangan tersebut yang telah disebutkan
oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

Sedangkan ulama yang lainnya memandang bahwa
dalam hal ini sikap yang lebih baik ialah menahan diri
untuk tidak merincinya. Mereka beralasan karena bukan
hanya firqah-firqah yang sudah ada ini saja yang
tersesat. Tetapi telah banyak kelompok orang yang
tersesat dalam jumlah kelompok yang lebih besar di
masa sebelumnya. Begitu pula banyak firqah baru yang
muncul setelah tujuh puluh dua firqah yang ada
sekarang. Mereka berpendapat bahwa bilangan ini tidak
akan pernah terhenti dan tidak mungkin bisa diketahui
sampai kapan berakhirnya kecuali nanti di akhir zaman
ketika hari kiamat datang.

Oleh sebab itu sikap yang lebih baik ialah kita
sebutkan secara global saja bilangan yang sudah
56
disebutkan secara global oleh Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dan kita katakan bahwasanya umat ini
akan berpecah belah menjadi 73 firqah, semuanya
berada di neraka kecuali satu. Kemudian kita katakan
bahwa setiap orang yang menyimpang dari petunjuk
dan pemahaman Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam
dan para sahabatnya adalah termasuk dalam firqah-
firqah ini.

Dan bisa juga Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam
memberikan gambaran tentang pokok-pokok aliran
sesat yang belum bisa kita ketahui keberadaannya
sekarang ini kecuali hanya sebatas sepuluh aliran saja
yang baru bisa kita lihat. Atau bisa juga beliau
shallallahu 'alaihi wa sallam mengisyaratkan beberapa
pokok aliran sesat yang di dalamnya terkandung
cabang-cabang sebagaimana pendapat demikian dipilih
oleh sebagian ulama. Adapun ilmu yang sebenarnya ada
di sisi Allah ‘azza wa jalla” (Fatawa Arkaanul Islaam, hal.
21-22)
57
Firqah-firqah yang menyimpang

Setelah kita mengetahui bersama bahwasanya satu-
satunya jalan yang diridhai Allah dalam beragama adalah
pemahaman Ahlus Sunnah Wal Jama’ah; yaitu tegak di
atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman
Salafush shalih. Maka tidak kalah pentingnya sekarang
adalah mengetahui berbagai kelompok Islam atau firqah
yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal
Jama’ah.

Di sini kami ingin mengingatkan kembali perkataan
Imam Ibnul Qayyim yang sangat penting untuk kita
cermati. Beliau rahimahullah mengatakan, “Pemahaman
yang benar dan niat yang baik adalah termasuk nikmat
paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-
Nya. Bahkan tidaklah seorang hamba mendapatkan
pemberian yang lebih utama dan lebih agung setelah
nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini.
Bahkan kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam,
dan Islam tegak di atas pondasi keduanya. Dengan dua
nikmat inilah hamba bisa menyelamatkan dirinya dari
terjebak di jalan orang yang dimurkai (al maghdhuubi
‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan
58
juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan
orang sesat (adh dhaalliin) yaitu orang-orang yang
pemahamannya rusak. Sehingga dengan itulah dia akan
termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi
nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang
memiliki pemahaman dan niat yang baik. Mereka itulah
pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul Muwaqqi’iin,
1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44)

Dari perkataan beliau ini kita bisa menarik kesimpulan
berharga bahwasanya sumber penyimpangan manusia
dari jalan yang lurus adalah buruknya pemahaman dan
buruknya niat. Inilah dua pokok kesesatan yang ada,
baik di dalam Islam maupun di luar Islam.

Sebagian besar kelompok menyimpang yang ada
sekarang ini pada hakikatnya mewarisi penyimpangan-
penyimpangan yang ada pada para pendahulunya,
sedikit maupun banyak. Ada di antara mereka yang
murni mengikuti sebuah aliran masa silam tapi ada juga
yang menggabung-gabungkan penyimpangan dari
berbagai aliran masa silam ke dalam tubuh kelompok
mereka.
59
Dan kebanyakan dari mereka sudah tidak lagi memakai
nama lama. Akan tetapi mereka kelabui umat dengan
nama-nama yang indah dan mempesona. Ada lagi
orang-orang yang merasa tidak puas dengan referensi-
referensi Islam dan mencoba menggali ‘tambahan
pelajaran’ dari produk pemikiran orang-orang Kafir. Di
antara mereka ada yang masih berada dalam lingkaran
Islam.

Tetapi ada juga yang sudah mental keluar karena bosan
dengan manhaj para ulama Salaf dan lebih senang
dengan ajaran Orientalis. Maka jadilah orang-orang
seperti ini sebagai orang-orang yang merasa
memperjuangkan keagungan nilai ajaran agama Islam.
Berdasarkan persangkaan ini maka mereka pun
mengumpulkan manusia dan menyebarkan ide-ide
mereka dalam bentuk ceramah maupun tulisan. Mereka
bangun sekolah demi mengkader para penerus
kesesatan mereka. Mereka racuni pikiran para generasi
muda dan kaum cerdik cendekia.

Bahkan tidak jarang ada di antara mereka yang nekat
turun ke jalan dan mengerahkan massa. Atau lebih
60
sangar lagi ada yang berani mengangkat senjata dan
menumpahkan darah manusia tanpa hak.
Subhaanallaah..!!

Imam Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah
mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya
dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah
mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti contohnya : Rafidhah
(Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah,
Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan juga kelompok-
kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah
firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah,
semoga Allah melindungi kita darinya.” (Lum’atul I’tiqad,
dinukil dari Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad hal 90.
Namun di sana tidak disebutkan nama Khawarij, dugaan
saya ini adalah salah cetak, sebagaimana tampak dari
syarahnya yang juga menjelaskan firqah Khawarij.
Silakan bandingkan dengan Syarah Lum’atul I’tiqad
Syaikh Al ‘Utsaimin, hal. 161)

Setelah membawakan perkataan Imam Ibnu Qudamah ini
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. 61
Beliau mengatakan, “Kaum Ahlul bid’ah itu memiliki
beberapa ciri, di antara cirinya adalah :
1. Mereka memiliki karakter selain karakter Islam
dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah
yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut
urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
2. Mereka sangat fanatik kepada pendapat-
pendapat golongan mereka. Sehingga mereka
pun tidak mau kembali kepada kebenaran
meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi
mereka.
3. Mereka membenci para Imam umat Islam dan
para pemimpin agama (ulama) (Syarah Lum’atul I’tiqad,
hal. 161)

Kemudian Syaikh Al ‘Utsaimin menjelaskan satu persatu
gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut
ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan
dari sumber lain. Mereka itu adalah :

1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang
melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait
(keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan
orang-orang selain golongannya, baik itu dari
62
kalangan para Shahabat maupun yang lainnya.
Ada juga di antara mereka yang menuduh para
Shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka ini pun
terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada
yang sangat ekstrim hingga berani
mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada
pula di antara mereka yang lebih rendah
kesesatannya dibandingkan mereka ini. Tokoh
mereka di jaman ini adalah Khomeini beserta
begundal-begundalnya. (Silakan baca Majalah Al
Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427 hal. 49-
53)

2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka
adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang
madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam
masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah.
Sedangkan madzhab mereka dalam masalah
takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham
Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah
makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan
dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan.
Adapun dalam masalah keimanan madzhab 63
mereka adalah menganut paham Murji’ah yang
menyatakan bahwa iman itu cukup dengan
pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan
ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari
pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah
seorang mukmin yang sempurna imannya.
Wallaahul musta’aan.

3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang
memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan
hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah
membolehkan pemberontakan kepada penguasa
muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar.
Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte
lagi. (Tentang Pemberontakan, silakan baca
Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram
1427 hal. 31-36)

4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang
berpendapat menolak keberadaan takdir.
Sehingga mereka meyakini bahwa hamba
memiliki kehendak bebas dan kemampuan
berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak
64
dan kekuasaan Allah. Pelopor yang
menampakkan pendapat ini adalah Ma’bad Al
Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para
Shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan
ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini
menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba
bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan
Allah, jadi inipun sama sesatnya.

5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian
dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan
modal pengakuan hati saja. Konsekuensi
pendapat mereka adalah pelaku dosa besar
termasuk orang yang imannya sempurna.
Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun
dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab
mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab
Khawarij.

6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil
bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari
majelis pengajian Hasan Al Bashri. Dia
menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa
besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang 65
berada di antara dua posisi (manzilah baina
manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman.
Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka
akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh
lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin
‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid
Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil)
sebagaimana kelakuan kaum Jahmiyah. Dalam
masalah takdir mereka ini menganut paham
Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa
besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi
juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir
ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan
Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham
Jabriyah dan menganggap dosa tidaklah
membahayakan keimanan. Inilah anehnya bid’ah,
dua prinsip aliran sesat yang bertentangan bisa
bertemu dalam satu tubuh. Tahsabuhum jamii’an
wa quluubuhum syattaa. Kalian lihat mereka itu
bersatu padu akan tetapi sebenarnya hati mereka
tercerai-berai. (lihat QS. Al Hasyr : 14)

7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad
bin Karram yang cenderung kepada madzhab
66
Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan
makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah,
mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.

8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah
bin Sa’id bin Kullab Al Bashri. Mereka inilah yang
mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah
yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian
kaum Asya’irah (yang mengaku mengikuti Imam
Abul Hasan Al Asy’ari) pada masa ini pun
mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu.
Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan Al
Asy’ari pada awalnya menganut paham
Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun.
Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya
dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah.
Di tengah perjalanannya kembali kepada manhaj
Ahlus Sunnah beliau sempat memiliki keyakinan
semacam ini yang tidak mau mengakui sifat-sifat
Allah kecuali tujuh saja yaitu : hidup,
mengetahui, berkuasa, berbicara, berkehendak,
mendengar dan melihat. Kemudian akhirnya
beliau bertaubat secara total dan berpegang
teguh dengan madzhab Ahlus Sunnah, semoga 67
Allah merahmati beliau. (lihat Syarh Lum’atul
I’tiqad, hal. 161-163)

Syaikh Abdur Razzaq Al Jaza’iri hafizhahullah
mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas
pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja.
Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah
sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai
macam tarekatnya, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya,
Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam
kelompoknya.

Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub
(bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai
macam alirannya, seperti contohnya : Jama’ah Hijrah wa
Takfir yang menganut aliran Khawarij; yang dampak
negatif ulah mereka telah menyebar kemana-mana (yaitu
dengan maraknya pengeboman dan pemberontakan
kepada penguasa, red), Jama’ah Tabligh dari India yang
menganut aliran Sufi, Jama’ah-jama’ah Jihad yang
mereka ini termasuk pengusung paham Khawarij tulen,
kelompok Al Jaz’arah, begitu juga (gerakan) Al Ikhwan Al
Muslimun baik di tingkat internasional maupun di
kawasan regional (bacalah buku Menyingkap Syubhat
68
dan Kerancuan Ikhwanul Muslimin karya Ustadz Andy
Abu Thalib Al Atsary hafizhahullah)

Sebagian di antara mereka (Ikhwanul Muslimin) ada juga
yang tumbuh berkembang menjadi beberapa Jama’ah
Takfiri (yang mudah mengkafirkan orang). Dan
kelompok-kelompok sesat selain mereka masih banyak
lagi.” (lihat Al Is’aad fii Syarhi Lum’atul I’tiqaad, hal. 91-
92, bagi yang ingin menelaah lebih dalam tentang
hakikat dan bahaya di balik jama’ah-jama’ah yang ada
silakan membaca buku Jama’ah-Jama’ah Islam karya
Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali hafizhahullah)

Haram berpecah belah menjadi berbagai jama’ah
dan partai

Berikut ini sebagian fatwa para ulama yang mengecam
keras tindakan mendirikan berbagai jama’ah dan
mengkotak-kotakkan umat Islam dalam sekat-sekat
partai dan kelompok keagamaan. Komite Tetap urusan
fatwa Kerajaan Saudi Arabia yang diketuai oleh Syaikh
Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah pernah ditanya,
“Apakah hukum berbilangnya jama’ah dan hizb/partai di 69
dalam Islam, dan apakah hukum berloyalitas kepadanya
?”

Komite tersebut menjawab : “Tidak diperbolehkan kaum
muslimin terpecah belah dalam agama mereka menjadi
berbagai kelompok dan golongan… Karena
sesungguhnya perpecahan ini tergolong perkara yang
dilarang Allah kepada kita. Allah mencela orang yang
menciptakan dan juga orang yang mengikuti orang yang
mencetuskannya. Dan Allah telah mengancam pelakunya
dengan siksaan yang sangat besar.

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berpegangteguhlah
kalian dengan tali Allah dan janganlah berpecah belah..”
(QS. Ali ‘Imran [3] : 103) sampai firman Allah ta’ala, “Dan
janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah
belah dan senantiasa berselisih sesudah datang berbagai
macam keterangan kepada mereka. Dan bagi mereka
itulah siksaan yang sangat besar.” (QS. Ali ‘Imran [3] :
105)

Allah ta’ala juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang
yang memecah belah agama mereka sehingga mereka
pun menjadi bergolong-golongan tidak ada sedikitpun
70
tanggung jawabmu kepada mereka.” (QS. Al An’am [6] :
159)

Adapun apabila pemegang urusan kaum muslimin
(Pemerintah, red) yang melakukan upaya pengaturan
terhadap mereka serta memilah-milah mereka dalam
berbagai kegiatan agama atau keduniaan (bukan untuk
memecah belah, red) maka tindakan semacam ini
disyari’atkan.” (Fatwa No. 1674 tertanggal 7/10/1397 H,
lihat Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal. 52-53)

Nasihat serupa juga disampaikan oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau
mengatakan, “Tidak terdapat dalil baik di dalam Al Kitab
maupun di dalam As Sunnah yang membolehkan
munculnya berbagai macam jama’ah dan hizb/partai.
Akan tetapi yang ada di dalam Al Kitab dan As Sunnah
justru mencela hal itu. Allah ta’ala berfirman yang
artinya, “Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu)
menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi
beberapa pecahan. tiap-tiap golongan merasa bangga
dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-
masing).” (QS. Al Mu’minuun [23] : 53)
71
Dan tidak ragu lagi bahwasanya keberadaan hizb-hizb
ini bertentangan dengan perintah Allah, bahkan ia juga
bertolak belakang dengan anjuran yang disinggung di
dalam firman Allah ta’ala, “Sesungguhnya (agama
Tauhid) Ini adalah agama kamu semua; agama yang satu
dan Aku adalah Tuhanmu, Maka sembahlah Aku.” (QS. Al
Anbiyaa’ [21] : 92).” (lihat Silsilah Abhats Manhajiyah
Salafiyah, hal. 54)

Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah yang dulunya
pernah membolehkan orang untuk Khuruj (keluar daerah
untuk berdakwah ala Tablighi dalam rentang waktu
tertentu) bersama Jama’ah Tabligh pun dalam fatwa
terakhirnya mengatakan, “Jama’ah Tabligh tidak memiliki
bashirah (ilmu dan keterangan) dalam berbagai
permasalahan akidah, sehingga tidak diperbolehkan
untuk Khuruj bersama mereka, kecuali bagi orang yang
sudah mempunyai bekal ilmu dan bashirah (pemahaman
yang dalam) dalam hal akidah lurus yang dipegang oleh
Ahlus Sunnah wal Jama’ah supaya dia bisa mengarahkan
dan menasihati mereka.” (Majalah Ad Da’wah, Riyadh No.
1438 tertanggal 13/1/1414 H dan tercantum dalam
Majmu’ Fatawa beliau 8/331, dinukil dengan sedikit
72
perubahan dari Silsilah Abhats Manhajiyah Salafiyah, hal.
55-56)

Dalam permasalahan ini para ulama lainnya juga
memberikan fatwa yang melarang terbentuknya berbagai
jama’ah dan hizb semacam ini, di antara mereka adalah
Syaikh Shalih Al Fauzan (anggota Lembaga Ulama Besar
kerajaan Saudi Arabia), Syaikh Muhammad Nashiruddin
Al Albani (mujaddid dan ahli hadits abad ini), Syaikh Bakr
Abu Zaid dan ulama-ulama yang lainnya dari negeri
Saudi, Yaman, Yordan, dan negeri lain, semoga Allah
menjaga mereka semua.

Maka pada masa ini di negeri yang kita tempati, kita
sungguh dibuat terheran-heran oleh ulah sebagian
kelompok umat Islam yang menyerukan persatuan dan
mengajak untuk mempererat jalinan ukhuwah di antara
sesama muslim namun di saat yang sama mereka justru
asyik mendengung-dengungkan kehebatan partainya
sembari mengibar-ngibarkan bendera partainya,
mengenakan kaos dan beraneka atribut partai,
merentangkan spanduk kebanggaannya serta
memobilisasi massa untuk mencoblos partai mereka dan
tidak memilih partai Islam yang lainnya. Inilah salah satu 73
keajaiban Harakah Islamiyah (Gerakan Islam) abad 21
yang berusaha ‘menegakkan benang basah’ dan rela
untuk merengek-rengek kepada Demokrasi demi
mendapatkan jatah kursi. Wallahul musta’aan. Adakah
orang yang mau merenungkan ?

Di akhir tulisan ini kami ingin menegaskan ulang bahwa
Salaf artinya para sahabat Nabi dan orang-orang yang
mengikuti jejak mereka dengan baik, Salaf bukanlah
pabrik atau partai atau organisasi atau yayasan atau
perkumpulan atau perusahaan …jangan salah paham.

Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda
mensifati sebuah golongan yang selamat dari
perpecahan di dunia dan siksa di akhirat, yang biasa
disebut dengan istilah Al Firqah An Najiyah (golongan
yang selamat) atau Ath Thaa’ifah Al Manshuurah
(kelompok yang mendapat pertolongan) atau Al Jama’ah
atau Al Ghurabaa’ (orang-orang yang asing), beliau
bersabda, “Mereka adalah orang-orang yang beragama
sebagaimana caraku dan cara para sahabatku pada hari
ini” (HR. Ahmad, dinukil dari kitab Tauhid Syaikh Shalih
Fauzan hal. 11)

74
Maka sebenarnya pertanyaan yang harus kita tujukan
pertama kali kepada diri-diri kita sekarang adalah;
apakah akidah kita, ibadah kita, dakwah kita, garis
perjuangan kita sudah selaras dengan petunjuk Rasul
dan para sahabat ataukah belum ? Pikirkanlah baik-baik
dengan hati dan pikiran yang tenang : Benarkah apa
yang selama ini kita peroleh dari para ustadz dan
Murabbi serta Murabbiyat sudah sesuai dengan
pemahaman sahabat ataukah belum ? Kalau iya mana
buktinya ?

Marilah kita ikuti jejak dakwah Rasul serta para sahabat
dan juga para ulama Salaf dari jaman ke jaman. Ukurlah
keadaan kita dengan timbangan Al Kitab dan As Sunnah
dengan pemahaman Salaf. Ingat jangan ta’ashshub
(fanatik buta). Pelajari dulu akidah dan manhaj yang
benar, baru anda akan bisa menilai apakah manhaj dan
dakwah saudara-saudara sudah cocok dengan
pemahaman sahabat ataukah belum cocok tapi dipaksa-
paksa biar kelihatan cocok ?!

Orang yang bijak mengatakan : ‘Kenalilah kebenaran
maka engkau akan mengenal siapa yang benar !’
75
Kenapa kita harus ngotot membela seorang tokoh,
beberapa individu, sebuah partai, atau yayasan, atau
organisasi, atau pergerakan, atau perhimpunan, atau
kesatuan aksi, atau apapun namanya kalau ternyata itu
semua menyimpang dari jalan Rasul dan para sahabat ?

Pikirkanlah ini baik-baik sebelum anda bertindak,
berorasi, menulis, atau menggalang massa, sadarilah
kita semua telah mendapatkan larangan dari Allah Ta’ala
dari atas langit sana dengan firman-Nya yang artinya,
“Dan janganlah kamu mengikuti apa-apa yang kamu
tidak memiliki ilmu tentangnya, karena sesungguhnya
pendengaran, penglihatan dan hati semua itu pasti akan
dimintai pertanggungjawaban” (QS. Al Israa’ [17] : 36).
Peganglah akidah ini kuat-kuat !!

Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Katakanlah: "Inilah
jalan (agama) ku, Aku dan orang-orang yang
mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan
hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan Aku tiada
termasuk orang-orang yang musyrik" (QS. Yusuf [12] :
108)

76
Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah
berkata, “Allah Ta’ala berfirman kepada Nabi-Nya
shallallahu 'alaihi wa sallam :

[katakanlah]

kepada manusia [inilah jalanku] artinya : jalan yang
kutempuh dan kuajak kamu untuk menempuhnya. Yaitu
suatu jalan yang akan mengantarkan menuju Allah dan
negeri kemuliaan-Nya (surga). Jalan itu mencakup ilmu
terhadap kebenaran dan mengamalkannya, menjunjung
tinggi kebenaran serta mengikhlashkan ketaatan
beragama hanya untuk Allah, tidak ada sekutu bagi-Nya.

[aku mengajak kamu kepada Allah]

artinya : aku memotivasi seluruh makhluk dan hamba-
hamba agar menempuh jalan menuju Tuhan mereka.
Aku senantiasa mendorong mereka untuk itu, dan aku
memperingatkan mereka dari bahaya yang dapat
menjauhkan dari jalan itu.

Bersama itu akupun memiliki
[hujjah yang nyata] 77

dari ajaran agamaku, (dakwahku) tegak di atas landasan
ilmu dan keyakinan, tidak ada keraguan, kebimbangan
dan ketidakpastian. [dan] begitu pula

[orang-orang yang mengikutiku],

mereka mengajakmu kepada Allah sebagaimana
ajakanku, berdasarkan hujjah yang nyata dari agama-
Nya. [dan Maha suci Allah] dari segala sesuatu yang
disandarkan kepada-Nya tapi tidak sesuai bagi
kemuliaan-Nya atau mengurangi kesempurnaan-Nya.
[dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik] dalam
segala urusanku, tetapi aku menyembah Allah dengan
mengikhlashkan agama untuk-Nya.” (Taisir Karimir
Rahman, hal. 406)

Demikianlah yang dimudahkan bagi saya untuk
menyusun tulisan ini. Tulisan ini memang masih jauh
dari kesempurnaan. Yang benar bersumber dari Allah.
Sedangkan yang salah berasal dari saya dan dari
syaithan, Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari
kesalahan saya. Dan saya memohon ampun kepada Allah
atasnya.
78

Nasihat dan kritik membangun dari para pembaca yang
budiman sangat kami harapkan demi tegaknya
kebenaran dan untuk mengharapkan limpahan ridha,
rahmat dan barakah dari Allah subhanahu wa ta’ala.

Semoga Allah menerima amal-amal kita. Shalawat
beriring salam semoga selalu tercurah kepada teladan
kita Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam,
keluarga, para sahabat dan seluruh pengikut mereka
yang setia. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian
alam.

Jogjakarta, Jum’at 23 Rabi’ul Awwal 1427 Hijriyah